Minggu, 11 Desember 2011

JENJANG KESEMPURNAAN HIDUP DENGAN KEINDAHAN KEMAKMURAN BERSAHAJA 2




Namun kenyataannya, saat demi saat manusia lebih suka menenggelamkan diri di lautan kebodohan dan kehinaan. Diri manusia sudahlah hina masih ditambah dengan tutupan pakaian hina. Digambarkan laksana seseorang kotor berpenyakitan berpakaian compang-camping hanya akan menambah buruknya penglihatan pada orang tersebut. Maka salah satu maksud di balik gema takbir, tahlil dan tahmid yang terus berkumandang di hari tasyrik merupakan isyarat himbauan kepada manusia khususnya himbauan kepada kaum pemuda untuk bersegera bangkit melepaskan atau mengorbankan pakaian keburukan dan kebodohan yang cukup lama tersandang-lekat pada diri. Kemudian berganti dengan pakaian keindahan dan kecerdikan. Di dalam Al Qur’an telah dinyatakan: “seindah-indah pakaian adalah pakaian taqwa”. Salah satu ciri khas pakaian taqwa adalah berhiaskan keindahan dan kecerdikan. Belum bisa seseorang dikatakan berpakaian taqwa jika keindahan dan kecerdikan belum tampak pada sikap dirinya. Bagi manusia yang dirinya tenggelam di lautan ke-Maha-Besaran Allah dan ke-Maha-Muliaan Allah itulah mereka yang banyak menyerap sifat indah Asma Allah.
Semakin dalam rasa kasih Ilaahi terserap jauh hingga mencapai relung-relung hati paling dalam, semakin banyak pula rangkaian pengertian indah berhikmah seperti: “semesta yang telah Ia Allah rentangkan dalam kesempurnaan yang nyata adalah untuk membawa tingkat kehidupan pada jenjang kesempurnaan martabat”.


لَتَرْكَبُنَّ طَبَقاً عَنْ طَبَقٍ

“sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).” (QS. Al Insyiqaaq (84) : 19 )

Sebagaimana sifat Asma-Nya selaku Rabb Yang Maha Sempurna, yang berarti dari saat ke saat suasana kebangkitan terpadu harus diciptakan oleh manusia. Bukan sebaliknya suasana kerusakan demi kerusakan yang akhirnya menjurus pada kehancuran. Dalam hal ini manusialah yang telah ditetapkan selaku makhluq yang mampu menciptakan suasana kebangkitan terpadu dari saat ke saat sampai dapat diraih jenjang kesempurnaan hidup. pertanyaan: “mengapa suasana kebangkitan terpadu dipercayakan kepada manusia?” karena manusialah selaku makhluq yang dicipta dengan potensi diri utuh dalam kesempurnaan. Dengan adanya potensi diri utuh dalam kesempurnaan itulah yang akan dijadikan sebagi modal penunjang terciptanya suasana kebangkitan hidup terpadu. Sedangkan selaku makhluq yang memiliki sifat perusak dan suka membawa kehidupan pada jenjang kebodohan dan kehinaan, khususnya dalam hal memperdaya manusia, agar perbuatan senantiasa menjurus pada kerusakan dan kehancuran adalah Iblis. Ini bukan berarti keberadaan Iblis di tengah-tengah perbuatan manusia adalah untuk menyaingi manusia atau untuk memperdaya manusia. Tetapi justru untuk memperlihatkan kepada Iblis bahwa manusia itu tetap dalam posisi terunggul. Untuk membuktikan bahwa manusia berposisi terunggul adalah dari hasil perbuatannya yang dari saat ke saat senantiasa menciptakan suasana kebangkitan hidup terpadu.
Untuk mewujudkan kebangkitan hidup bersifat terpadu Allah telah menurunkan petunjuk-petunjuk-Nya melalui Al Qur’an dan Al Hadits. Hanya saja untuk menyerap petunjuk-petunjuk yang ada di dalam Al Qur’an dan Al Hadits memang memerlukan kehalusan rasa dan mata hati yang terbuka. Hendaknya disadari, petunjuk paling berbobot bersifat keilmuan murni terdapat di balik pengertian yang tersurat. Sedangkan salah satu modal untuk menciptakan suasana kebangkitan hidup terpadu adalah keilmuan murni. Jika kehalusan rasa dan mata hati yang terbuka tidak dimiliki oleh seseorang, akan sulit baginya untuk menangkap pengertian yang ada di balik suratan Al Qur’an. Laksana akar tanaman yang mengalami kesulitan saat menyerap sari pati tanah yang dalam keadaan keras dan kering. Sebaliknya bila kehalusan rasa manusia dan mata hati terbuka dapat menyingkap pengertian di balik yang tersurat, maka wujud petunjuk yang diberikan langsung ke dalam hati sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya: “sesungguhnya Kami Allah akan menurunkan petunjuk ke dalam hati manusia”, sifatnya adalah Ilhamis.

مَا اَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ اِلاَّ بِاِذْنِ اللهِ وَمَنْ يُّؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَه وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan idzin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At Taghaabun (64) : 11)


Dengan demikian keberadaan Al Qur’an dan Al Hadits adalah laksana sumur banyak mengandung mata-air mata-air. Semakin sering sumur ditimba, semakin jernih air yang diambil. Berarti dalam hal ini keberadaan Al Qur’an dan Al Hadits diibaratkan laksana alat pancing bagi hati untuk mendapatkan petunjuk langsung dari Allah. Sudah barang tentu bila setiap langkah perbuatan manusia disetir oleh petunjuk yang langsung masuk ke dalam hati, tidak akan pernah ada kehidupan di muka bumi ini dalam belenggu kegelapan dan kebodohan.
Tetapi fakta di tengah-tengah kehidupan manusia khususnya masyarakat Islam, keberadaan Al Qur’an dan Al Hadits tidak berhasil menjadikan hati manusia sebagai wadah tempat menerima langsung petunjuk dari Allah. Tampak-tampaknya Al Qur’an dan Al Hadits di dalam kehidupan khususnya ummat Islam hanya menjadi alat pengakuan diri. Sedang sikap prilaku ummat Islam sangat jauh dari yang digambarkan Al Qur’an. Berarti keberadaan Al Qur’an hanya diabaikan.

وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَارَبِّ اِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوْا هذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا

Berkatalah Rasul: “Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (QS. Al Furqaan (25) : 30)


Bukti pengabaian terhadap Al Qur’an adalah sangat sedikit ummat Islam yang dapat menimba kandungan makna ayat Al Qur’an, khususnya yang bersifat keilmuan murni masih sangat langka sekali dalam kehidupan ummat Islam. Dengan tidak terlahir keilmuan murni dalam kehidupan ummat Islam menunjukkan bahwa manusia khususnya ummat Islam belum terbebaskan dari kegelapan dan kebodohan buta. Bagaimanapun hebatnya perwujudan ilmu bila tidak bersandarkan pada keilmuan murni bersifat Qur’ani, tetap saja akan terpandang sebagai keilmuan bodoh-membuta. Dikatakan keilmuan bodoh-membuta karena keilmuan diperoleh dengan cara meniru sebagaimana si burung beo menirukan percakapan manusia. Baru dikatakan keilmuan itu tidak bodoh-membuta, bila tidak bersikap meniru-niru apa yang sudah ada. Nyatalah sudah antara manusia khususnya ummat Islam dengan Al Qur’an sudah terjadi jurang pemisah yang sangat jauh dari contoh pelaksanaan yang dilakukan Rasulullah Muhammad S.A.W. Tampak-tampaknya dalam kehidupan ini yang harus diperangi adalah kebodohan-membuta, sedangkan untuk memerangi kebodohan membutuhkan suatu pengorbanan.
Pertanyaan lebih lanjut, “mengapa kebangkitan merupakan salah satu titik perhatian dalam kehidupan?” Karena Allah paling tidak menyukai terhadap hal-hal yang mengarah pada kerusakan والله لا يحب المفسدين …(…dan Allah tidak menykai orang-orang yang membuat kerusakan (QS. Al Maidah (5) : 64). Bila dalam kehidupan ini yang terjadi hanya kerusakan demi kerusakan, berarti jutaan manusia hanya terpuruk dalam lembah kebodohan dan kegelapan. Masih pula ditambah oleh belenggu rantai besi keburukan akhlaq. Padahal datangnya Islam di tengah-tengah kehidupan manusia adalah untuk mengentaskan kehidupan manusia dari kebodohan dan kegelapan. Sebab jika manusia dibiarkan dalam lembah kebodohan dan kegelapan sama halnya manusia disejajarkan kedudukannya dengan Iblis. Padahal sejak awal penciptaan manusia, Allah telah memisahkan kehidupan Iblis dengan kehidupan manusia sejauh-jauhnya. Dengan pemisahan tersebut diharapkan agar manusia dapat beraktivitas mewujudkan kebangkitan hidup terpadu. Adapun selama melangsungkan aktivitas, Iblis masih juga berupaya untuk mengganggu. Allah pun telah memberikan jalan keluar yakni datanglah mengadu kepada Allah untuk memperoleh perlindungan.

وَقُلْ رَبِّ اَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيطِيْنِ

“Dan katakahlah, “Ya Rabbku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaithaan.” (QS. Al Mu’minuun (23) : 97)

وَاَعُوْذُ بِكَ رَبِّ اَنْ يَحْضُرُوْنَ

“Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, dari kedatangan mereka (syaithaan) kepadaku.” (QS. Al Mu’minuun ( 23) : 98)

bersambung ke jenjang kesempurnaan 3


http://renunganbimo.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar