Minggu, 11 Desember 2011

JENJANG KESEMPURNAAN HIDUP DENGAN KEINDAHAN KEMAKMURAN BERSAHAJA 3




Tetapi kebanyakan sifat manusia lebih suka mencari perlindungan kepada sesama makhluq. Bila diperhatikan dengan seksama pada peristiwa Ibrahim A.S. hendak menyembelih Ismail A.S. yang kemudian Ismail A.S. diganti dengan seekor qibas, merupakan gambaran nyata bahwa kegelapan dan kebodohan buta yang ada dikorbankan dalam arti dibuang jauh dari dalam diri. Kegelapan dan kebodohan buta itu disimbolkan dengan seekor binatang yang dikorbankan sebagai ganti dari Ismail A.S. Memang binatanglah dalam hal ini yang mempunyai sifat bodoh karena tidak dilengkapi oleh potensi diri berupa aqal.
Berarti yang membedakan manusia dengan binatang terletak pada aqal. Kapan aqal manusia tidak bisa berfungsi, maka gerak aktivitas yang dilakukan sama dengan binatang. Gambaran manusia yang meletakkan diri sama dengan binatang dalam firman Allah pun telah diisyaratkan bahkan telah dinyatakan, “serendah-rendah manusia adalah manusia yang tidak menggunakan aqal, karena derajat dirinya berada di bawah derajat binatang melata”.

اِنَّ شَرَّ الدَّوَآبِ عِنْدَ اللهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِيْنَ لاَ يَعْقِلُوْنَ

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak menggunakan aqal.” (QS. Al Anfaal (8) : 22)

Sebenarnya bila dipandang dari segi kebijakan, bukanlah binatang yang harus dikorbankan pada setiap peristiwa ‘Iedul Adha. Tetapi Allah sangat menghargai manusia (selaku makhuq yang dicipta dalam keadaan) paling mulia, maka hewanlah yang dikorbankan. Adapun maksud Allah, hewan yang dikorbankan sebagai ganti diri manusia, hendaknya manusia dapat mengambil suatu pelajaran. Sebab hewan yang dikorbankan itu tidak pernah berbuat dosa kepada manusia. Justru sebaliknya banyak sekali memberi manfaat untuk kehidupan manusia.
Tetapi, pakaian utama bagi binatang adalah kebodohan yang tidak menggunakan aqal, dan aqal itu sendiri yang tidak ada pada binatang. Maka kebodohan itulah yang dikorbankan atau dibunuh oleh pisau-pisau bermata tajam. Dimaksudkan “pisau-pisau bermata tajam”, agar membunuh kebodohan tidak dengan setengah-setengah, harus dibunuh dengan sungguh-sungguh sampai ke akar-akarnya. Bila diperhatikan, sudah jutaan jumlah manusia dari saat ke saat melestarikan budaya menyembelih hewan qurban. Pertanyaan, “sudahkah berhasil manusia membebaskan kehidupan ini dari belenggu kegelapan dan kebodohan?”


اِنَّا عَرَضْناَ اْلاَمَانَةَ عَلىَ السَّموَاتِ وَاْلاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَحْمِلْنَهاَ وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلاِنْسَانُ اِنَّه كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,” (QS. Al Ahzaab (33) : 72)
Kegelapan dan kebodohan selamanya akan tetap membelenggu kehidupan semesta khususnya manusia bila kemurnian tauhid tidak berhasil ditegakkan dalam sikap hidup keseharian. Sebenarnya pada serentetan peristiwa Nabi Ibrahim A.S. yang kini dijadikan syariah ibadah haji sudah terangkai dengan jelas urutan-urutan pelaksanaan terhadap gerakan kebangkitan khususnya kebangkitan membebaskan kehidupan manusia dari belenggu kegelapan dan kebodohan-membuta.
Untuk mewujudkan kebangkitan bukan kebodohan-membuta yang mula pertama harus disembelih, tetapi yang harus mewujud adalah menjadikan diri hidup bertauhid murni dalam keseharian. Gambaran kemurnian tauhid dijelaskan pada peristiwa Ibrahim A.S. ketika meninggalkan istri dan anaknya di tengah-tengah gurun pasir yang tidak berkehidupan. Pasir kering kerontang di bawah sengatan matahari, di sanalah Hajar dan Ismail A.S. ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim A.S. Sikap yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim A.S., bukanlah sikap ketidakpedualian atau sikap tidak mau tahu. Justru sikap demikian itulah tampak bagaimana Nabi Ibrahim A.S. mendidik jiwa istri dan anak agar tidak bergantung hidup pada suami, meskipun suami mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pertumbuhan rohani anak dan istri.
Nabi Ibrahim A.S. bermaksud dengan sikap meninggalkan anak dan istri di tengah-tengah padang pasir yang tidak berkehidupan, diharapkannya agar anak dan istri bisa hidup di bawah payung ketauhidan murni. Dengan ketauhidan murni tumbuhlah suatu pengertian bahwa hidup terbelenggu kegelapan dan kebodohan-membuta tidaklah tepat. Sehingga muncul kebulatan tekad untuk memotong rantai-rantai kebodohan-membuta yang telah lama membelenggunya.
Bukan saja rantai-rantai kegelapan dan kebodohan-membuta yang dapat dipotong oleh pisau-pisau tajam bertauhid murni, tetapi hal yang lebih penting lagi dari perwujudan hidup bertauhid murni adalah lahirnya suatu keilmuan murni sebagai modal untuk pergerakan kebangkitan hidup terpadu. Dan sudah dibuktikan secara simbolis bahwa keilmuan murni mencuat dan lahir oleh ketauhidan murni akan menciptakan kebangkitan hidup bersemesta. Simbol dari keilmuan murni yang dilahirkan dari ketauhidan murni tampak pada peristiwa Hajar dan Ismail A.S. yang berhasil menemukan “mata air”. Sifat mata air yang telah ditemukan Hajar dan Ismail A.S. bersifat kekal dalam arti tidak mudah musnah dimakan masa. Bahkan dengan mata air yang telah ditemukan oleh Hajar dan Ismail A.S. muncul kebangkitan hidup terpadu sifatnya bersemesta. Simbol dari kebangkitan hidup terpadu yang dicuatkan oleh Hajar dan Ismail A.S. adalah sekitar daerah gurun pasir yang semula kering kerontang tanpa ada satupun kehidupan. Kini dengan cuatan mata air zam-zam menjadikan daerah tersebut hidup makmur tanpa satu pun bangsa yang dapat menjajahnya. Dengan demikian sifat keilmuan murni yang dilahirkan dari ketauhidan murni juga bersifat berkekalan dalam arti tidak mudah habis digali. Dalam kenyataan, kebangkitan terpadu sulit diwujudkan, itu pertanda tidak adanya ketauhidan murni dalam sikap hidup sehari-hari. Bagaimana kebangkitan terpadu dapat diwujudkan, jika modal keilmuan murni tidak diperoleh, padahal untuk memperoleh keilmuan murni dasarnya tentu bertauhid murni.
‘Iedul Adha yang tiap tahun datang dalam kehidupan manusia tidak lain bertujuan membawa manusia untuk hidup bertauhid murni, yang melahirkan keilmuan murni. Sehingga muncul suatu kebangkitan terpadu, terpaparlah kehidupan makmur yang bersahaja. Semoga apa yang telah digambarkan atau dihimbaukan ‘Iedul Adha kiranya dapat memacu diri kita untuk mencuatkan suatu kebangkitan. Sehingga kehidupan layu yang lama membelenggu dan hampir menghantarkan kehidupan pada kehancuran, (karena kesulitan demi kesulitan terus menimpa kehidupan ini), dengan modal bertauhid murni kita songsong kebangkitan hidup terpadu. Berarti lepas pula dari kesulitan-kesulitan yang kian menghimpit dengan modal bertauhid murni dan berkeilmuan murni. Jika tauhid murni dan keilmuan murni tidak dapat diwujudkan, maka harapan untuk menyongsong kebangkitan dan melepaskan kehidupan dari kesulitan hanya tinggal khayalan. Harapan tidak lain tertuju kepada kalian wahai pemuda, di punggungmulah segala harapan akan adanya kebangkitan terpadu bersemesta dan kemakmuran bersahaja. Tegakkanlah panji-panji ketauhidan murni. Bunuh habislah selimut kegelapan dan kebodohan-membuta yang ada pada sifat kebinatangan.


http://renunganbimo.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar